Selamat Datang! Di Cafebahasa dan Opini-Bambang Setiawan-Blog Informasi dan Kumpulan Opini-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Selasa, 31 Juli 2012

Cipta Sastra Galur Tulang


Kreativitas Cipta Sastra “Galur Tulang”
Oleh: Bambang Setiawan, S.Pd

“Tapak perjalanan kata yang saling berjalinan satu sama lain”, tidak bisa dianggap remeh. Inilah embrio kecil yang sangat misterius menghantarkan proses kreatif dalam kumpulan “Galur Tulang” yang ditulis oleh EM Yogiswara. Dorongan merangkai kata dan mengawinkan dalam ikatan sajak memerlukan imaji, penginderaan, dan inspirasi konkret. “Karena sajak dan tulang diyakini memiliki kekuatan tersendiri, maka ia pun kukawinkan dalam ikatan sajak (EM Yogiswara, 2012:i)”, merupakan sensasional dan sebuah kekuatan untuk membangun kreativitas cipta sastra.
Bobot perjalanan kata yang dihadirkan dalam himpunan sajak EM Yogiswara berjudul Galur Tulang dapat dimanfaatkan secara konsumsi dan intelektual, walaupun cara mengawinkan kata “sajak dan tulang” dalam tulisan
sajaknya begitu panjang. Tradisi penulisan yang disuguhkan dalam himpunan sajak Galur Tulang sangat kompleks dengan imaji, mengalir sampai pada gaya akhir. Sebagai pekerja seni EM Yogiswara mampu menyemarakan permainan kata dalam ke 14 (empat belas sajaknya) yang mirip percakapan, walaupun terpoles secara rumit.
Membaca teks sastra sajak dalam Galur Tulang, penyair dalam komponen bahasanya yang panjang seperti penulisan cerpen atau cerita mini, sangat  menginspirasikan proses kreatif  yang akurat. Suatu teks sastra (sajak) dalam Galur Tulang, tidak berhenti selesai dicipta oleh pengarangnya, melainkan masih mengalami perjalanan panjang, dapat dijadikan teks baru, bahkan sajak-sajak dalam Galur Tulang dapat dijadikan dasar lakon seni pertunjukan atau mengilhami cipta seni lain. Hal ini secara konkret dapat dibaca dalam alur sajak yang ditulis oleh EM Yogiswara penuh dengan ramuan bahasa yang mencair dari bait yang satu ke bait yang lain.
Konsep dan cara pandang yang hadirkan EM Yogiswara dalam sajaknya sangat berbeda dengan penyair yang lain, seperti  Chairil Anwar (dalam kumpulan Kerikil Tajam dan  Yang Terhempas dan Yang Terputus) konsep dan cara pandang menghadirkan proses kreatifnya dengan bahasa yang sederhana dan penulisannya dengan gaya bahasa yang cukup pendek. Atau pun Amir Hamzah (dalam kumpulan Nyanyi Sunyi) menghadirkan puisi atau sajaknya dengan tulisan yang pendek. Terbentuknya karya sastra baik puisi, sajak adalah melalui proses kreatif yang panjang. Namun, panjang pendeknya proses ini amat relatif, dan tergantung kesiapan psikologis penyair dalam menuangkan ide dan pemikirannya. Dan belum tentu sajak sajak-sajak yang dihadirkan EM Yogiswara itu proses kreatifnya lebih singkat dibanding seorang penulis novel yang menuliskan ceritanya sampai beratus-ratus halaman.
Upaya EM Yogiswara memberi warna dalam sajaknya sangat kreatif, walaupun secara jujur penyair sendiri belum tentu secara nyata mampu memahami secara penuh proses kreatif yang dialaminya dalam menuliskan sajaknya. Penyair merambah dengan keluasan ide yang dimilikinya dengan konsep yang sedikit memaksakan kondisi rasional yang dialaminya dengan bantuan diksi, gaya bahasa, metafora, pilihan kata sebagai bentuk ekspresi-ekspresi paradoksnya. Sajak-sajak Galur Tulang sangat kaya dengan narasi dan peristiwa kemanusiaan sebagai bentuk kontributif dalam sikap kritis yang dimiliki oleh EM Yogiswara, walaupun sajak-sajak yang dihadirkannya ada atas inspirasi dan pengalaman-pengalaman pribadinya.
//Tangis mengejar air mata, seperti membangun kedewasaan di titik retak. Sungai rindu menari. Mengakhiri kemelut detik. Detik menusuk tulang, membagi sumsum hari, di tiap gemertak ngilunya. Nisan menanti// (Api Tulang, 2012:1). Kutipan sajak tersebut diungkapkan penyair secara pedas. Namun kosakata bahasanya dirangkai secara estetis. Seusai membaca puisi berjudul Api Tulang ada hal yang menggelitik dan cukup mengasyikkan. Penyair dalam sajaknya menghadirkan pesona melalui lirik-lirik esainya sangat menyentuh psikis, kejujuran, imaji. Lalu bagaimana EM Yogiswara menyapa dunia persajakan dalam himpunan Galur Tulang? Adalah sentuhan jiwa, getaran jiwa yang hendak dikatakan kepada pembaca melalui struktur narasi yang kuat dengan kreativitas.
Mencipta dan menuliskan sajak-sajak sebagai teks yang kreatif merupakan proses penalaran sebagai bentuk titik temu emosi, rahasia-rahasia, intuisi bahkan sebuah dialog yang imajiner. Sajak yang dihadirkan oleh EM Yogiswara didasari oleh emosi, baik itu emosi kegembiraan, kesedihan, cemburu, malu, menakutkan dan seterusnya. Endraswara (2008:36) menyebutkan bahwa emosi adalah unsur yang mendasari puisi atau emosi merupakan akibat dari situasi yang aktual. Namun demikian penyair dalam himpunan sajak Galur Tulang telah berhasil membuat keseimbangan antara sajak dan situasi yang dibangunnya secara sepadan. Semua sajak yang dihadirkannya diolah dengan bahasarasa yang enjoy dan nikmat sekali untuk dibaca, walaupun sajak yang digarapnya dengan narasi yang panjang.
//Dari tulang kembali ke tanah. Semua yang melekat pada bara tulang mencair, bersatu menjadi tanah. Hanya bara tulang tersisa. Menemani aroma tanah, bersetubuh dengan dingin tanah. “Semua jasa milik-Nya. Kita meminjam, kelak mengembalikannya ke tanah.”// (Bara Tulang, 2012:3). Penyair dalam sajak ini erat dengan hubungannya dengan perasaan. Artinya penyair mengajak kepada pembaca bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya, kelak mengembalikannya ke tanah. Dorongan perasaan yang kuat disampaikan EM Yogiswara dalam sajak Bara Tulang merupakan reaksi tingka laku yang dekat dengan perasaan ketuhanan. Dalam sajak berjudul Bara Tulang ini penyair menghadirkan kepuitisan, dan mengutamakan aspek estetis. Pendayagunaan bahasa dan pemilihan kosa kata yang disuguhkannya sangat membangkitkan efek emosinalitas. Secara rasional sajak-sajak dalam himpunan Galur Tulang, penyair melakukan berbagai cara untuk menemukan tingkat keestetisan dan emosionalitas dalam bahasa kiasan.
Himpunan sajak Galur Tulang semakin memikat ketika dibaca, karena unsur bentuk dan isi ditempatkan secara terkait dalam proses penulisan sajak oleh penyairnya. Unsur isi dan bentuk ini menjadi sumber gagasan dan sebagai tema dalam setiap sajaknya. EM Yogiswara dalam sajaknya mengusung tema cinta, ketakutan, kegembiraan, penderitaan, sebagai dasar untuk menyampaikan intuisinya. Dalam himpunan sajaknya, EM Yogiswara sangat halus dan menyentuh untuk mengungkapkan perasaannya. Walaupun ada beberapa sajaknya yang didasari dengan emosi yang meluap, bahkan ketidakpuasan dan amarah yang tinggi juga secara spontan diungkapkan penyair dalam sajak-sajak Galur Tulang.
Wellek dan Warren (1976; Siswanto, 2008:13) menyebutkan bahwa penyair dalam berkarya dianggap mengalami gangguan emosi dan karya sastranya dianggap merupakan kompensasinya, dan kesengsaraan, kegelisahan sebagai tema karya-karyanya. Begitu juga dengan proses cipta kreatifnya penyair mendapatkan kenikmatan (kehendak positif), dan dorongan untuk menemukan suatu keindahan, keseriusan dalam mempermainkan bunyi dan kata. Kepuasaan rasa seni dan dorongan untuk mencipta sesuatu yang kreatif terasa dalam ke 14 (empat belas sajak EM Yogiswara) yang terhimpun dalam Galur Tulang yang diterbitkan oleh Kerjasama Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi dengan The Society Muaro Jambi Temple.
Sajak berjudul Episode Tulang (2012:7).//Bulan putih. Tulang bersetubuh. Pijar pengantin tenggelam di rongga bersayap. Menghantarkan mawar merah di pintu angan. Kuntum menguak ruang. Bunga di atas meja menyambangi tamu penuh perlindungan// (bait pertama). //Bulan putih basah oleh tangis. Cahaya redup di titik api. Api galau, mengambang alurnya di pucuk bunga. Terjerat sendi tulang yang merangkai wangi// (bati ke empat, 2012:7). Pada kutipan bait sajak yang dihadirkan oleh EM Yogiswara tersebut muncul dorongan mengaktualkan sebuah keindahan, walaupun kadar keindahan setiap sajak yang dihadirkan berbeda-beda. Sajak Epidose Tulang dimanfaatkan EM Yogiswara sebagai ungkapan keindahan. Penyair dapat menemukan kepuasan ide meskipun tidak diwujudkan dalam simbol-simbol yang sebenarnya.
Proses kreativitas cipta sajak yang dilakukan oleh EM Yogiswara, juga terlihat dari pemilihan bahasa. Artinya penyair mempunyai latar belakang kebahasaan yang unik untuk menulis sajak. EM Yogiswara dalam menorehkan bahasanya berbeda dengan kumpulan-kumpulan puisi sebelumnya; Kau Lahir (1992), Soco (Benteng Budaya Yogyakarta, 2001), dan Perempuanku (1992). EM Yogiswara dipandang mempunyai kreativitas berbahasa. Bahasa yang dimunculkan penyair dalam himpunan sajak Galur Tulang adalah bahasa sastra. Mengapa? Pertama sajak-sajak yang dihadirkan oleh penyair dalam Galur Tulang mengalami deotomatisasi, karena ide, perasaan, pesan, dan wahana kebahasaan yang ada diolah oleh penyair sehingga pengujarannya tidak dapat berlangsung begitu saja. Semua sajak (ke empat belas sajak) yang terhimpun dalam Galur Tulang bersifat polisemantsi dan multifungsional. Selain bahasa yang dihadirkan juga dilandasi dengan sistem bahasa natural dan sistem kode dalam konvensi sastra. Begitu juga dengan isi sajaknya terlihat secara jelas ada unsur-unsur pemadatan struktur kebahasaan, pengayaan makna, dan variasi pola struktur. Selain itu latar belakang kebahasaan EM Yogiswara juga mengandung konotasi makna yang bersifat individual.
Berikut contoh latar belakang kebahasaan yang dihadirkan EM Yogiswara dalam sajaknya berjudul Galur Tulang (2012:hal 9). //Kita lahir dari pergumulan air tulang birahi. Menjelma menjadi daging. Daging dari darah. Membesar, menyelimuti tulang. Tulang berjanji menjaga jasad. Jasad dituntun keinginan hati. Hati? Adakah tulang memiliki hati?”// (bait pertama).//Amuk air berkisah: api menangkah tapak usia. Panasnya mengeruh. Tak ada tanda-tanda cahaya kan lewat. Bara mengarng di kesenjaan, air bertemu tulang di kayu-kayu pembakaran, seperti pembajak ladang yang tak menebar benih. Duka.// (bait kelima, 2012:9).
Dalam berkomunikasi penyair dalam sajak-sajak Galur Tulang sangat memperhatikan sistem bahasa. Aritnya komunikasi sastra, penyair sangat memperhatikan sistem bahasa dan memperhatikan sosio-budaya. Karena bahasa dan budaya saling berkaitan. Meskipun kreativitas dijunjung tinggi dalam penulisan sajaknya, EM Yogiswara dalam menuangkan idenya tetap memperhatikan sosio-budaya masyarakat (bahasa dan sastra) masyarakatnya. Selain latar belakang kebahasaan yang unik, EM Yogiswara dalam menggarap beberapa sajaknya sangat erat dengan alam semesta. Artinya sajak-sajak yang ditulis oleh penyair tercipta berkat ide yang didapat dari alam semesta. Penyair dalam himpunan sajak Galur Tulang menyampaikan apa yang berhasil diindra, ditanggapi, diingat dan difantasikan disimpan dan disampaikan melalui bahasa dengan segala perangkatnya.
Berikut kutipan sajak berjudul Kerikil di Rongga Rulang. //”Dingin malam terbunuh, tanpa erang dan isak tangis pemburu waktu yang meringgis mengais sisa tidur. “Masih bergunakah melawan arus hujan?” Dengan embun// (bait kedua, 2012:14). //Beban awan menghantar mendung pada peradaban hujan. Tanpa tangga turun menjelma menjadi pisau. Air. Melepas dahaga yang membatu. Musibah.// (bait ketiga, 2012:14). Beberapa karya sajaka EM Yogiswara disusun berdasarkan alam semesta. Sajak-sajak berjudul; Kerikil di Rongga Tulang (2012:14), Lengkung Tulang (2012:17), Lorong Tulang (2012:21), dan Rongga Tulang (2012:27). Sajak-sajak tersebut oleh penyair disusun dengan tiga cara yaitu manipulatif, artifisial, dan interpretatif. Kenyataan yang diindrakan penyair dijadikan bahan sajaknya dengan cara dimanipulasi, yaitu penyair meniru, menambah, mengabung-gabungkan kenyataan yang ada untuk dijadikan sumber inspirasi dalam penulisan sajaknya. Selain itu kenyataan yang ada dan dihadapi telah diinterprestasikan terlebih dahulu berdasarkan cara pandang diri EM Yogiswara sebelum sajak itu ditulis secara estetis.
//Dinding tulang bisa rapuh. Lalu roboh, pesona melintasi angin dan waktu sia-sia mengukir keangkuhannya. Keangkuhan membaur tanah. Memaksa diri menyetubuhi air. Diam. Debu mengepung pejalan// (bait keempat, 2012:21). Dari kutipan sajak tersebut, pembaca dapat mengetahui bahwa kenyataan yang akan dihadapi setiap manusia kelaknya juga dijadikan inspirasi peristiwa. Penggambaran yang kritis digambar pada “dinding tulang bisa rapuh. Lalu roboh”. Usai membaca himpunan sajak Galur Tulang, kosakata dan pilihan kata yang dihadirkannya menghantarkan pembaca semakin mudah mengenal, menimbang, menikmati dan menghayati sajak-sajak yang dihadirkan oleh EM Yogiswara.

Penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra di SMA Pelita Raya Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar